Penulis: Muhammad Fadhil Fathiah, S.Si
Research and Product Development
Daftar isi
Pendahuluan
Produk daging olahan merupakan bagian penting dalam konsumsi pangan sehari-hari masyarakat modern. Proses pengolahan yang mencakup pemotongan, pencampuran, penggilingan, fermentasi, pengawetan, dan pengemasan menjadikan produk ini rentan terhadap berbagai potensi kontaminasi mikroba. Salah satu isu utama dalam keamanan pangan produk daging olahan adalah kontaminasi oleh bakteri patogen, yang dapat membahayakan kesehatan konsumen. Salah satu bakteri yang paling sering menjadi perhatian adalah Staphylococcus aureus, karena kemampuannya menghasilkan enterotoksin yang tahan terhadap panas dan menyebabkan keracunan makanan. Artikel ini akan membahas potensi bahaya dari Staphylococcus aureus, jalur kontaminasinya, dampaknya terhadap kesehatan, serta pentingnya pengujian laboratorium untuk menjamin keamanan produk sebelum dipasarkan.
Daging merupakan sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Seiring berkembangnya industri pangan, terdapat berbagai macam jenis produk olahan daging yang kini tersedia di pasaran, seperti bakso, kornet, daging kalengan, dan sosis. Produk-produk ini melalui berbagai tahapan pengolahan dan penyimpanan sebelum akhirnya sampai ke tangan konsumen. Dalam prosesnya, pengawasan mutu menjadi aspek penting dalam menjamin keamanan dan kelayakan produksi daging olahan.
Potensi Kontaminasi dan Jalur Penyebaran
Selama proses pengolahan, penyimpanan, dan pengolahan, daging sangat rentan mengalami kontaminasi silang secara langsung dan tidak langsung. Kontaminasi secara langsung melalui air, tanah, udara, dan debu. Sedangkan kontak tidak langsung melalui peralatan pemotong daging, tangan pengolah, dan kemasan yang tidak steril. Salah satu bakteri yang umum ditemukan dalam produk daging olahan dan berpotensi membahayakan kesehatan manusia adalah Staphylococcus aureus.
Staphyloccus aureus merupakan bakteri gram positif, tidak menghasilkan spora, dan tidak memiliki kemampuan gerak (motil). Bakteri ini secara alami dapat ditemukan sebagai bagian mikroflora normal pada kulit, saluran pernafasan, dan saluran pencernaan manusia. Kontaminasi terhadap makanan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan manusia melalui tangan, alat dan permukaan yang tidak higienis, serta udara di lingkungan produksi. Kondisi suhu penyimpanan pada suhu 37°C sangat mendukung pertumbuhan bakteri ini.
Kemampuan Adaptasi dan Produksi Toksin
Kemampuan Staphylococcus aureus dalam beradaptasi memanfaatkan substrat daging sangat membantu dalam pertumbuhan yang memproduksi enterotoksin. Toksin ini tahan terhadap panas dan tetap aktif meskipun makanan telah dimasak. Konsumsi makanan yang terkontaminasi enterotoksin Staphylococcus aureus dapat menyebabkan gejala seperti mual, muntah, kram perut, diare, sakit kepala, dan demam. Kondisi ini dikenal sebagai intoksikasi makanan atau keracunan makanan. Studi yang dilakukan Puspadewi et al. (2014) menunjukkan bahwa terdapat sejumlah kasus intoksikasi yang diakibatkan oleh toksin Staphylococcus aureus di berbagai wilayah Indonesia. Temuan ini menunjukkan bahwa pengawasan terhadap keamanan produk daging olahan masih menjadi tantangan dan perlu perhatian serius.
Kontaminasi daging oleh Staphylococcus aureus dapat terjadi pada berbagai tahap, mulai dari penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, hingga distribusi. Untuk mengendalikan risiko ini, pemerintah Indonesia telah menetapkan Peraturan BPOM No. 13 Tahun 2019 tentang Batas Maksimal Cemaran Mikroba dalam Pangan Olahan. Dalam regulasi ini, parameter keberadaan Staphylococcus aureus telah diatur secara khusus untuk berbagai jenis daging olahan, guna memastikan produk yang beredar aman untuk dikonsumsi masyarakat.
Tabel 1 Nilai batas maksimal cemaran Staphylococcus aureus dalam berbagai kategori produk pangan olahan
| Kode Pangan | Kategori Produk | n | c | m (koloni/g) | M (koloni/g) | Metode Analisis |
| 08.2.1.1 | Produk olahan Daging, Daging Unggas dan Daging Hewan Buruan dalam Bentuk Utuh atau Potongan Yang Di- curing (Termasuk Penggaraman) Tanpa Perlakuan Panas | 5 | 1 | 2,5 × 10² | 10⁴ | SNI ISO 6888-1; SNI 2897 |
| 08.2.1.2 | Produk Unggas Dan Daging Hewan Buruan Dalam Bentuk Utuh Atau Potongan Yang Dikuring (Termasuk Penggaraman) dan Dikeringkan Tanpa Perlakuan Panas | 5 | 1 | 10² | 10⁴ | SNI ISO 6888-1; SNI 2897 |
| 08.2.1.3 | Produk Daging, Daging Unggas dan Daging Hewan Buruan,dalam Bentuk Utuh atau Potongan yang Difermentasi Tanpa Perlakuan Panas | 5 | 1 | 2,5 × 10² | 10⁴ | SNI ISO 6888-1; SNI 2897 |
| 08.2.2 | Produk Daging, Daging Unggas dan Daging Hewan Buruan Dalam Bentuk Utuh Atau Potongan yang Diolah Dengan Perlakuan Panas | 5 | 1 | 10² | 10⁴ | SNI ISO 6888-1; SNI 2897 |
| 08.2.3 | Produk Olahan Daging, Daging Unggas dan Daging Hewan Buruan dalam Bentuk Utuh Maupun Potongan yang Dibekukan (Diproses, Disimpan Maupun Diperdagangkan dalam bentuk beku | 5 | 1 | 10² | 2 x 102 | SNI ISO 6888-1; SNI 2897 |
| 08.3.1 | Produk Olahan Daging, Daging Unggas, Dan Daging Hewan Buruan yang Dihaluskan, Tanpa Perlakuan Panas | 5 | 1 | 103 | 104 | SNI ISO 6888-1; SNI 2897 |
| 08.3.2 | Daging, Daging unggas dan daging Hewan Buruan, yang Dihaluskan, dan Diolah dengan Perlakuan Panas | 5 | 1 | 10² | 2 x 102 | SNI ISO 6888-1; SNI 2897 |
| 08.3.3 | Daging, Daging Unggas dan Daging Hewan Buruan Yang Dihaluskan, Diolah dan Dibekukan | 5 | 1 | 10² | 2 x 102 | SNI ISO 6888-1; SNI 2897 |
| 09.2.2 | Ikan, Filet Ikan dan Hasil Perikanan Termasuk Moluska, Krustase dan Ekinodermata Berlapis Tepung yang Dibekukan; Krustase setelah ditepungkan kemudian dipanaskan kemudian dibekukan | 5 | 1 | 10² | 103 | SNI ISO 6888-1; SNI 2332-9 |
| 09.2.4.1 | Ikan dan Produk Perikanan Kukus atau Rebus | 5 | 1 | 10² | 103 | SNI ISO 6888-1; SNI 2332-2 |
| 09.2.4.2 | Moluska, Krustase dan Ekinodermata Rebus atau Kukus dan Produk Perikanan | 5 | 1 | 103 | NA | SNI ISO 6888-1; SNI 2332-9 |
| 09.2.4.3 | Ikan dan Produk Perikanan termasuk Moluska, Krustase, Ekinodermata Goreng atau Panggang (Oven atau Bara) | 5 | 1 | 10² | 103 | SNI ISO 6888-1; SNI 2332-9 |
Virulensi dan Mekanisme Enterotoksin SEs
Salah satu faktor virulensi utama Staphylococcus aureus adalah kemampuannya menghasilkan enterotoksin, yang dikenal sebagai Staphylococcal enterotoxins (SEs). Enterotoksin ini merupakan eksotoksin gastrointestinal yang sangat kuat, yang disintesis selama fase pertumbuhan logaritmik atau saat transisi dari fase pertumbuhan eksponensial ke fase stasioner. Toksin ini tetap aktif meski dalam jumlah kecil, mulai dari nanogram tinggi hingga mikrogram rendah. Toksin SEs tahan terhadap berbagai kondisi yang biasanya dapat menghancurkan bakteri penghasilnya, tahan terhadap panas dan pH rendah. Toksin ini juga tahan terhadap enzim-enzim pencernaan, sehingga tetap aktif dan bisa menyebabkan efek merugikan di saluran pencernaan setelah tertelan.
Enterotoksin Staphylococcus aureus biasanya masuk ke tubuh manusia melalui konsumsi olahan yang telah terkontaminasi. Setelah tertelan, SEs tidak terdegradasi oleh enzim lambung dan pencernaan karena sifatnya yang stabil terhadap enzim seperti tripsin dan pepsin. Di usus, toksin ini berinteraksi langsung dengan sel epitel gastrointestinal dan sel imun seperti sel T, memicu reaksi hiperstimulasi sistem imun. SEs tergolong superantigen yang mampu mengaktivasi sejumlah besar limfosit T secara non-spesifik, menyebabkan pelepasan masif sitokin inflamasi (badai sitokin).
Gejala Klinis dan Risiko pada Kelompok Rentan
Gejala umum keracunan makanan akibat SEs muncul dalam waktu cepat, yaitu 2–6 jam setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi. Gejala yang dilaporkan meliputi mual, muntah hebat, kram perut, dan diare. Kondisi ini biasanya bersifat akut dan sembuh dalam waktu 24–48 jam, namun bisa berbahaya pada kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, atau individu imunokompromais. Berbeda dengan sebagian besar patogen lain, toksin SEs mampu menimbulkan gejala meskipun bakteri penghasilnya tidak lagi hidup dalam makanan.
Deteksi dini terhadap keberadaan Staphylococcus aureus dan enterotoksinnya dalam produk pangan olahan menjadi langkah strategis untuk menjamin keamanan pangan. Salah satu laboratorium yang berpengalaman dalam pengujian keamanan pangan (uji makanan) adalah Prodia Food Health Laboratory (Prodia FHL). Laboratorium ini secara rutin melakukan analisis mikrobiologis terhadap berbagai jenis sampel makanan guna memastikan keamanan produk sebelum diedarkan. Mengingat tingginya prevalensi kontaminasi Staphylococcus aureus dan risiko serius yang ditimbulkan oleh enterotoksinnya, penting bagi pelaku industri pangan maupun pihak terkait untuk melakukan pengujian kualitas produk secara berkala. Oleh karena itu, mari tingkatkan kesadaran pentingnya keamanan pangan dengan melakukan pengujian produk daging olahan di laboratorium Prodia FHL.
Daftar Pustaka
Argudín MA, Mendoza MC, Rodicio MR. 2010. Food poisoning and Staphylococcis aureus enterotoxins. Toxins. 2(7): 1751-1773. DOI: doi.org/10.3390/toxins2071751.
Balaban N, Rasooly A. 2000. Staphylococcal enterotoxins. Int J Food Microbiol. 61(1): 1-10.DOI:10.1016/s0168-1605(00)00377-9
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2019. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 13 Tahun 2019 Batas maksmial cemaran mikroba dalam pangan olahan. Jakarta (ID): BPOM RI.
Hennekinne JA, De Buyser ML, Dragacci S. 2012. Staphylococcus aureus and its food poisoning toxins: characterization and outbreak investigation. FEMS Microbiol Rev. 36(4): 815-836. DOI: doi.org/10.1111/j.1574-6976.2011.00311.x
Larkin EA, Carman RJ, Krakauer T, Stiles BG. 2009. Staphylococcus aureus: the Toxic Presence of a Pathogen Extraordinaire. Curr. Med. Chem. 2009;16:4003–4019. DOI:10.2174/092986709789352321
Puspadewi R, Suryani RA, Hidayat T. 2014. Isolasi dan identifikasi bakteri patogen pada bakso yang dijual di lingkungan kota Surakarta. J Biologi. 3(2): 44 – 50.
