Menilai dan Merespon Potensi Krisis Pangan Indonesia

Menilai dan Merespon Potensi Krisis Pangan Indonesia - Menilai dan Merespon Potensi Krisis Pangan Indonesia

Tahukah Kolega Prodia, Indonesia sudah berkali-kali mengalami krisis pangan? Dalam buku berjudul Krisis Pangan yang ditulis oleh Heri Priyatmoko, dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, tertulis bahwa pada abad 16-17 daerah Aceh pernah mengalami krisis pangan. Pada abad 17, Banten juga mengalami krisis pangan, begitupun di Pulau Jawa, krisis pangan juga terjadi pada 1677-1703 karena permainan harga beras dan pada tahun 1830-1870 oleh kebijakan tanam paksa. Krisis pangan yang paling diingat dalam sejarah Indonesia terjadi pada periode penjajahan Jepang, di mana semua beras dirampas untuk kebutuhan perang dan petani dipaksa menjadi romusha, sehingga produksi pangan berkurang drastis.

Krisis Pangan di Indonesia Saat Ini

Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr Jamhari menyampaikan, Indonesia saat ini mengonsumsi bahan pangan yang tidak diproduksi sendiri. Contohnya Indonesia  menjadi importir gandum terbesar dunia sejak 2017, padahal di era tahun 1960-an, Indonesia hanya berada di urutan 7 atau 8. Tahun 2020, Indonesia juga mengimpor kedelai lebih dari 95%, di mana 2015 angkanya masih di 60%-70%. Kondisi krisis pangan ini berpotensi semakin memburuk di masa depan dikarenakan beberapa faktor, yaitu pertumbuhan penduduk dunia belum terkendali, potensi akan krisis bahan bakar atau energi dan krisis air.

Baca Juga:  Alergi Histamin Pada Produk Ikan dan Cara Pencegahannya

Melihat Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, tidak menampik ancaman krisis pangan di dunia, termasuk di Indonesia.  Airlangga memaparkan realisasi padi secara global yang tercatat oleh International Grains Council (IGC) pada 2019-2020 diproyeksikan sebesar 498 juta ton atau lebih rendah dari realisasi 2018-2019 yang mencapai 500,1 juta ton; terjadi penurunan 0,4% sampai 0,5%.

Merespons Potensi Krisis Pangan Indonesia

Terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk merespons krisis pangan. Arifin Rudiyanto selaku Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam dalam Food and Agriculture Summit 2021 menyampaikan tindakan yang akan dilakukan pemerintah:

  1. Dalam peningkatan produktivitas lahan, perlu adanya evaluasi pada penyaluran subsidi pupuk agar tepat sasaran.
  2. Perlu adanya kerja sama dari petani yang tergabung di korporasi agar lebih produktif dari sisi lahan, tenaga kerja, dan hilirisasinya.
  3. Perubahan sistem, dari subsidi ke komoditi, dengan melihat data lebih akurat.
  4. Menghitung jumlah secara akurat pupuk yang harus tersedia dan berapa yang tersubsidi dan berapa yang tidak disubsidi.
  5. Mengembangkan pupuk yang organik di beberapa kabupaten.
Baca Juga:  Diabetes Melitus

Airlangga Hartarto juga menambahkan upaya tambahan yang dapat dilakukan, salah satunya dengan pembangunan food estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara untuk penguatan sistem pangan nasional. Diharapkan juga skema korporasi petani dalam food estate dapat memudahkan petani mendapatkan fasilitas lain yang disediakan pemerintah yang bekerja sama dengan BUMN dan Swasta. Hal penting lainnya yang disiapkan pemerintah adalah menyiapkan cold storage agar petani mendapatkan hasil optimal baik saat on farm maupun off farm. Program lain adalah hortikultura berorientasi ekspor yang terbukti meningkatkan pendapatan petani.

Dengan melihat potensi krisis pangan yang terjadi di dunia, termasuk di Indonesia, tentu kita perlu mendukung upaya yang sudah dilakukan dan sedang dirancang oleh pemerintah. Sebagai konsumen, Kolega Prodia perlu memprioritaskan produk pangan lokal Indonesia dan mengelolanya dengan baik sehingga limbah yang dihasilkan bisa seminim mungkin. Di momen Hari Pangan Sedunia ini, yuk lakukan aksimu dalam merespons potensi krisis pangan Indonesia, agar kita semua dapat #KerjaBersamaSehatBersama

 

Baca Juga:  Belajar dari Negara Lain dalam Menanggapi Varian Omicron

Sumber: t.ly/VGDH t.ly/P1Zf t.ly/gRyQ