Oleh: Muhammad Fadhil Fathiah, S.Si (Research and Product Development Prodia OHI)
Pendahuluan
Vitamin C atau asam askorbat (C6H8O6) merupakan komponen organik yang tergolong dalam kelompok turunan monosakarida. Vitamin C bersifat asam dan mudah larut dalam air.
Selain itu, vitamin merupakan pereduksi yang kuat, memiliki struktur kimia terdiri dari rantai 6 atom C yang tidak stabil karena mudah mengalami oksidasi dengan oksigen udara (O2), namun lebih stabil jika dalam bentuk kristal murni (Gambar 1). Asam askorbat umumnya berbentuk bubuk kristal tidak berbau berwarna putih hingga kuning pucat dengan rasa asam. Sebagian besar asupan harian vitamin C berasal dari buah dan sayuran yang saat ini telah banyak tersedia. Pada tumbuhan, vitamin ini merupakan hasil metabolit sekunder karena terbentuk dari glukosa melalui jalur asam D-glukoronat dan L gulonat.
Manfaat asam askorbat bagi kesehatan yaitu sebagai antioksidan, anti-aterogenik, anti-karsinogenik dan imunomodulator. Asam askorbat dan tokoferol (Vitamin E) dapat bekerja sinergis sumber antioksidan yang sangat baik dalam tubuh dan secara alami melindungi tubuh dari serangan oksidatif akibat radikal bebas. Kemampuan dalam menghambat radikal bebas tersebut sangat berperan dalam menjaga integritas membran sel. Hal ini memungkinkan terjaganya stabilitas zat penting lain dalam tubuh seperti vitamin A, E, asam folat dan tiamin, juga berperan dalam sintesis kolagen, penyembuhan luka, dan mencegah pendarahan. Sebagai bahan pangan, asam askorbat digunakan dalam kegiatan produksi daging giling dan potongan daging beku. Asam askorbat dalam daging diketahui mampu mencegah terjadinya oksidasi dan perubahan warna produk selama masa penyimpanan.
Sintesis vitamin C diketahui terjadi pada semua spesies tumbuhan, termasuk alga dan protista fotosintetik. Selain dari buah dan sayuran, sebagian besar vertebrata juga mampu mensintesis vitamin. Konsentrasi vitamin C dari sumber hewani umumnya rendah, kecuali pada hati hewan ternak dan telur ikan. Beberapa spesies jamur juga mampu biosintesis vitamin C. Namun kandungan vitamin C pada jamur liar maupun jamur budidaya umumnya sangat rendah. Asam askorbat disintesis pada tumbuhan dari gula sederhana D-glucose dan gula lainnya. Jalur sintesis asam askorbat pada tumbuhan hewan ditunjukkan pada Gambar 2. Sintesis asam askorbat pada hewan melalui jalur direct oxidative menggunakan glukosa. Hal ini dikarenakan pada hewan diketahui tidak memiliki enzim gulonolactone oxidase. Tumbuhan dan beberapa jenis bakteri yang mampu sintesis L-ascorbic acid mampu mensintesis menggunakan gula selain D-glukosa, yaitu galaktosa dan mannose.
Asam askorbat dalam produk pangan (BTP)
Sebagai Bahan Tambahan Pangan (BTP), asam askorbat dapat digunakan sebagai bahan menghambat reaksi pencoklatan enzimatis lebih baik dibandingkan asam sitrat dan asam malat. Asam askorbat berperan sebagai antioksidan yang dapat mereduksi o-kuinon menjadi o-difenol dan bereaksi dengan kuinon pada komponen sehingga reaksi pencoklatan enzimatis dapat dihambat. Hal ini diketahui lebih efektif dalam mempertahankan kualitas buah dibanding asam sitrat dan mampu mengurangi reaksi pencoklatan pada buah.
Kadar kebutuhan vitamin C harian pada manusia dapat berbeda yang disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya seperti status fisiologis, stress, dan penyakit. Rekomendasi kadar yang disarankan berbeda substansial dari 40-120 mg per hari di berbagai negara. Kadar tersebut mewakili penilaian kebutuhan normal kebutuhan vitamin C pada manusia. Berdasarkan nilai angka kecukupan gizi (AKG), anak berusia di atas satu tahun membutuhkan asupan vitamin C sebanyak 40 mg, sedangkan remaja berusia di atas 12 tahun perlu sekitar 65-90 mg per hari dan orang dewasa di atas 18 tahun sebesar 75-90 mg.
Secara alami, kadar vitamin C yang berlebih akan diekskresi oleh tubuh melalui keringat dan urin. Konsumsi makanan atau suplemen vitamin C 1000 mg per hari diketahui dapat meningkatkan risiko penyakit batu ginjal (urolithiasis) akibat pembentukan oksalat urin. Peningkatan produksi asam setelah konsumsi vitamin dapat menyebabkan iritasi lambung dan diare. Selain itu, gangguan ringan seperti pusing dan mual juga dapat terjadi.
Sayangnya berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/menkes/per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, batas maksimum penggunaan asam askorbat yang diizinkan dalam jenis bahan makanan tidak dinyatakan secara spesifik dalam Batas Maksimum Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB). Padahal vitamin sendiri termasuk sebagai golongan zat gizi dalam pangan yang dapat dicantumkan pada label makanan. Adapun untuk produk makanan komersial yang ingin mengajukan klaim fungsi zat gizi maupun klaim sebagai makanan sumber tinggi/kaya vitamin perlu memenuhi kriteria yang ditetapkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 13 tahun 2016 tentang Pengawasan Klaim pada Label dan Iklan Pangan Olahan. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius untuk memastikan agar kandungan zat gizi dituliskan secara jelas pada produk makanan sehingga dapat diketahui kandungan zat gizi produk sebelum dipasarkan secara komersial.
Daftar Pustaka
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2016. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pengawasan Klaim pada Label dan Iklan Pangan Olahan. Jakarta (ID): BPOM RI.
Cahyadi W, Gozali T, Fachrina A. 2018. Pengaruh konsentrasi gula stecia dan penambahan asam askorbat terhadap karakteristik koktil bawang Dayak (Eleutherine palmifolia). Pasundan Food Technology Journal. 5 (2): 154-163.
Faiqatunnisa. 2021. Analisa pasca panen buah langsat (Lansium domesticum) dengan penggunaan kemasan plastic polietilen, perendaman larutan asam askorbat, dan penyimpanan suhu 15C. [Skripsi]: Universitas Hasanuddin.
Johnston CS, Steinberg FM, Rucker RB. 2013. Ascorbic Acid Handbook of Vitamins, 4th Edition.Florida (USA): CRC Press.
Linster CL, Schaftingen EV. 2007. Vitamin C: Biosynthesis, recycling, and degradation in mammals. FEBS J. 274: 1-22.
Mattila P, Könkö K, Abreu E. 2009. Antioxidants in wild mushrooms. Curr. Med. Chem. 16: 1543-1560.
Mora-Gutierrez A, Gurin MH. 2006. Antioxidant compositions and methods of use thereof, US7, 118, 688 B2. Virginia (USA): United States Patent and Trademark
Nur AM. 2011. Kapasitas antioksidan bawang dayak (Eleutherine palmifolia) dalam bentuk segar, simplisia, dan keripik, pada pelarut nonpolar, semipolat, dan polat. [Skiripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Purwoko, I. 2017. Perbedaan hasil pemeriksaan glukosa urine sebelum dan sesudah mengkonsumsi vitamin C. [Disertasi]. Semarang (ID): Universitas Muhammadiyah Semarang.
Urivetzky M, Kessaris D, Smith AD. 1992. Ascorbic acid overdosing: a risk factor for calcium oxalate nephrolithiasis. The Journal of urology. 147 (5): 1215 – 1218.
Varvara M, Bozzo G, Celano G, Disanto C, Pagliarone N, Celano GV. 2016. The use of ascorbic acid as a food additive: technical-legal issues. Italian Journal of Food Safety. 5 (4313): 7-10.
Zawitowski JCGB, Eskin NAM. 1991. Oxidative Enzymes.